Sumber daya alam (biasa disingkat SDA) adalah segala sesuatu yang
berasal dari alam yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia.[1] Yang
tergolong di dalamnya tidak hanya komponen biotik, seperti hewan, tumbuhan,
danmikroorganisme,
tetapi juga komponen abiotik, seperti minyak bumi, gas alam,
berbagai jenis logam, air, dan tanah.[1][2] Inovasiteknologi,
kemajuan peradaban dan populasi manusia, serta revolusi
industri telah membawa manusia pada era eksploitasi sumber daya
alam sehingga persediaannya terus berkurang secara signifikan, terutama pada
satu abad belakangan ini.[2]Sumber
daya alam mutlak diperlukan untuk menunjang kebutuhan manusia, tetapi sayangnya
keberadaannya tidak tersebar merata dan beberapa negara seperti Indonesia, Brazil, Kongo, Maroko, dan
berbagai negara di Timur Tengah memiliki kekayaan alam hayati
atau nonhayati yang sangat berlimpah.[3][4][5][6] Sebagai
contoh, negara di kawasan Timur Tengah memiliki
persediaan gas alam sebesar
sepertiga dari yang ada di dunia dan Maroko sendiri memiliki persediaan senyawa fosfat sebesar
setengah dari yang ada di bumi[5].
Akan tetapi, kekayaan sumber daya alam ini seringkali tidak sejalan dengan
perkembanganekonomi di
negara-negara tersebut.[7]
Indonesia,
salah satu negara dengan kekayaan sumber daya alam hayati dan nonhayati
terbesar di dunia.
Pada umumnya, sumber daya alam berdasarkan sifatnya dapat
digolongkan menjadi SDA yang dapat diperbaharui dan SDA tak dapat diperbaharui.
SDA yang dapat diperbaharui adalah kekayaan alam yang dapat terus ada selama
penggunaannya tidak dieksploitasi berlebihan. Tumbuhan, hewan, mikroorganisme,
sinar matahari, angin, dan air adalah beberapa contoh SDA terbaharukan.
Walaupun jumlahnya sangat berlimpah di alam, penggunannya harus tetap dibatasi
dan dijaga untuk dapat terus berkelanjutan. SDA tak dapat diperbaharui adalah
SDA yang jumlahnya terbatas karena penggunaanya lebih cepat daripada proses
pembentukannya dan apabila digunakan secara terus-menerus akan habis. Minyak
bumi, emas, besi, dan berbagai bahan tambang lainnya pada umumnya memerlukan
waktu dan proses yang sangat panjang untuk kembali terbentuk sehingga jumlahnya
sangat terbatas., minyak bumi dan gas alam pada umumnya berasal dari sisa-sisa
hewan dan tumbuhan yang hidup jutaan tahun lalu, terutama dibentuk dan berasal
dari lingkungan perairan.Perubahan tekanan dan suhupanas selama jutaaan
tahun ini kemudian mengubah materi dan senyawa organik tersebut
menjadi berbagai jenis bahan tambang tersebut.
Telaah :
Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati Dan Ekosistemnya.
Undang-undang ini mengatur semua aspek yang berkaitan dengan konservasi, baik
ruang maupun sumber daya alamnya, sebagaimana ditegaskan dalam Bagian
Penjelasan-nya, bahwa Undang-undang ini bertujuan: “Untuk mengatur perlindungan
sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa
beserta ekosistemnya, serta pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati
dan ekosistemnya agar dapat menjamin pemanfaatannya bagi kesejahteraan
masyarakat dan peningkatan mutu kehidupan manusia”. Pasal 1 angka 7: ”Satwa
liar adalah semua binatang yang hidup di darat , dan atau di air, dan atau di
udara yang masih mempunyai sifat-sifat liar, baik yang hidup bebas maupun yang
dipelihara oleh manusia”. Penjelasan Pasal 1 angka 7: ”Ikan dan ternak tidak
termasuk di dalam pengertian satwa liar, tetapi termasuk di dalam pengertian
satwa”.
Pengertian konservasi menurut undang-undang ini adalah pengelolaan sumber daya alam hayati yang pemanfaatannya dilakukan secara bijaksana untuk menjamin kesinambungan persediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas keanekaragaman dan nilainya. Konservasi dilakukan melalui kegiatan : (a) perlindungan sistem penyangga kehidupan ; (b) pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya; dan (c) pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya (Pasal 5).
Undang – Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan memuat ketentuan mengenai konservasi di kawasan hutan. Pasal 1 angka 2 undang-undang ini menyatakan bahwa yang dimaksud dengan hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan. Selanjutnya Pasal 7 menyatakan bahwa hutan konservasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) huruf a terdiri dari: (a) kawasan hutan suaka alam, (b) kawasan hutan pelestarian alam, dan (c) taman buru.
Walaupun ketentuan konservasi ini masih berorientasi daratan namun prinsip-prinsip pengaturan mengenai konservasi secara analogi dimungkinkan untuk diterapkan untuk kawasan konservasi di perairan, khususnya untuk memberikan perlindungan hukum terhadap ekosistem yang menjadi habitat satwa langka.
Undang- Undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan. Sepanjang berkaitan dengan pengelolaan kawasan konservasi sebagai suatu kesatuan ekosistem, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan mengatur penetapan status hukum kawasan lautnya. Secara khusus undang-undang ini memberikan wewenang kepada Menteri untuk menetapkan status suatu bagian laut tertentu sebagai kawasan Suaka Alam Perairan, Taman Nasional Perairan, Taman Wisata Perairan, atau Suaka Perikanan. Penetapan status kawasan-kawasan laut tersebut bertujuan untuk melindungi dan melestarikan sumber-sumber kekayaan alam hayati dan ekosistemnya.
Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan menyatakan bahwa: “Dalam rangka mendukung kebijakan pengelolaan sumber daya ikan, Menteri menetapkan: (n) …………………..; (o) rehabilitasi dan peningkatan sumber daya ikan serta lingkungannya; (p) …………………..; (q) suaka perikanan; (r) …………………….; (s)…………………….; dan (t) jenis ikan yang dilindungi.” Pasal 7 ayat (5) : “Menteri menetapkan jenis ikan dan kawasan perairan yang masing-masing dilindungi, termasuk taman nasional laut, untuk kepentingan ilmu pengetahuan, kebudayaan, pariwisata, dan/atau kelestarian sumber daya ikan dan / atau lingkungannya”. Penjelasan Pasal 7 ayat (5) : “Yang dimaksud dengan “jenis ikan” adalah: Pisces (ikan bersirip); Crustacea (udang, rajungan, kepiting , dan sebangsanya); Mollusca (kerang, tiram, cumi-cumi, gurita, siput, dan sebangsanya); Coelenterata (ubur-ubur dan sebangsanya); Echinodermata (tripang, bulu babi dan sebangsanya); Amphibia (kodok dan sebangsanya); (buaya, penyu, kura-kura, biawak, ular air dan sebangsanya); Mammalia (paus, lumba-lumba, pesut, duyung dan sebangsanya); Algae (rumput laut dan tumbuhan lain yang hidupnya di dalam air); dan Biota Perairan lainnya yang ada kaitannya dengan jenis-jenis tersebut di atas, semuanya termasuk bagian-bagiannya dan ikan yang dilindungi”.
Selanjutnya Pasal 13 ayat (1) menyatakan bahwa: “Dalam rangka pengelolaan sumber daya ikan, dilakukan upaya konservasi ekosistem, konservasi jenis ikan, dan konservasi genetika ikan.” Selanjutnya Pasal 14 ayat (1) menyatakan bahwa: “Pemerintah mengatur dan/atau mengembangkan pemanfaatan plasma nutfah yang berkaitan dengan sumber daya ikan dalam rangka pelestarian ekosistem dan pemuliaan sumber daya ikan.” Pasal 14 ayat (2): “Setiap orang wajib melestarikan plasma nutfah yang berkaitan dengan sumber daya ikan.”
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menyatakan bahwa: “Daerah yang memiliki wilayah laut diberikan kewenangan untuk mengelola sumber daya di wilayah laut”. Selanjutnya Pasal 18 ayat (3) menyatakan bahwa kewenangan daerah untuk mengelola sumber daya di wilayah laut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: eksplorasi, eksploitasi, konservasi, dan pengelolaan kekayaan laut; pengaturan administratif; pengaturan tata ruang; penegakan hukum terhadap peraturan yang dikeluarkan oleh Daerah atau yang dilimpahkan kewenangannya oleh Pemerintah; ikut serta dalam pemeliharaan keamanan; dan ikut serta dalam pertahanan kedaulatan negara.
Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 1998 Tentang Kawasan Suaka Alam Dan Kawasan Pelestarian Alam. Peraturan Pemerintah ini merupakan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Pengertian Kawasan Suaka Alam menurut peraturan ini adalah: “kawasan dengan ciri khas tertentu, baik di daratan maupun di perairan yang mempunyai fungsi pokok sebagai kawasan pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya yang juga berfungsi sebagai wilayah sistem penyangga kehidupan.” Adapun yang dimaksud dengan Kawasan Pelestarian Alam adalah: “kawasan dengan ciri khas tertentu, baik di daratan maupun di perairan yang mempunyai fungsi perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.”
Dari definisi sebagaimana telah dikutip di atas, tampak perbedaan antara kedua kawasan, yaitu bahwa di dalam Kawasan Pelestarian Alam, baik di daratan maupun di perairan, dimungkinkan kegiatan pemanfaatan secara lestari dengan memperhatikan daya dukung ekosistemnya. Selanjutnya, Kawasan Suaka Alam dapat dibedakan menjadi: Cagar Alam dan Suaka Margasatwa, sedangkan Kawasan Pelestarian Alam dapat dibedakan menjadi: Taman Nasional, Taman Hutan Raya, dan Taman Wisata Alam.
Nomenklatur kawasan sebagaimana telah dikutip di atas, secara analogi dapat dipersamakan dengan pengertian kawasan-kawasan yang termuat di dalam Undang-Undang Perikanan Nomor 31 Tahun 2004. Sepanjang menyangkut urusan kelautan dan perikanan, Menteri Kelautan dan Perikanan berwenang untuk menetapkan perairan tertentu sebagai Kawasan Suaka Alam Perairan, Taman Nasional Perairan, Taman Wisata Perairan, atau Suaka Perikanan (Pasal 7 ayat (1) dan Penjelasan Pasal 13 ayat (1). Dalam hal ini Kawasan Suaka Alam Perairan dan Suaka Perikanan identik dengan Kawasan Suaka Alam sebagaimana yang dimaksud oleh Pasal 6 Peraturan Pemerintah ini. Selanjutnya, pengertian Taman Nasional Perairan dan Taman Wisata Perairan di dalam Undang-Undang Perikanan identik dengan Kawasan Pelestarian Alam sebagaimana yang dimaksud oleh Pasal 30 Peraturan Pemerintah ini.
Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 Tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan Dan Satwa. Pasal 1 butir 8: “Pelaksanaan pengawetan dan pemanfaatan jenis tumbuhan dan satwa merupakan tanggungjawab menteri yang bertanggungjawab di bidang kehutanan”
Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan Dan Satwa Liar. Pasal 1 butir 9 : “Pelaksanaan pengawetan dan pemanfaatan jenis tumbuhan dan satwa liar merupakan tanggungjawab menteri yang bertanggungjawab di bidang kehutanan”. Pasal 65 ayat (1) : ”Departemen Kehutanan ditetapkan sebagai Otoritas Pengelola (Management Authority) Konservasi Tumbuhan dan Satwa Liar”
Peraturan Pemerintah No 60 Tahun 2007 Tentang Konservasi Sumber Daya Ikan. Peraturan Pemerintah ini dimaksudkan untuk melaksanakan ketentuan Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan. Peraturan pemerintah ini ndemi kewenangan kepada Menteri (Kelautan dan Perikanan) untuk menetapkan Kawasan Konservasi Perairan yang terdiri atas taman nasional perairan, taman wisata perairan, suaka alam perairan, dan suaka perikanan (Pasal 8).
Peraturan Pemerintah ini juga memberi kewenangan kepada Menteri Kelautan dan Perikanan untuk menetapkan status perlindungan jenis ikan tertentu (pasal 24 ayat 1), yang meliputi Jenis ikan yang dilindungi dan Jenis ikan yang tidak dilindungi (Pasal 23 ayat (1)). Jenis ikan tertentu dapat ditetapkan sebagai jenis ikan yang dilindungi, apabila memenuhi kriteria: (a). terancam punah; (b). langka; (c). daerah penyebaran terbatas (endemic); (d). adanya penurunan jumlah populasi di alam yang tajam; dan (e). tingkat kemampuan reproduksi yang rendah.
Kerjasama Konservasi Internasional. Kerjasama internasional dalam konservasi sangat diperlukan terutama untuk mencegah kepunahan atau terancamnya jenis dan ekosistem dari kepunahan yang disebabkan oleh pengelolaan dan pemanfaatan yang tidak berkelanjutan. Beberapa konvensi internasional terkait dengan konservasi yang mengikat secara hukum diantaranya adalah CITES, Ramsar dan CBD. Indonesia telah meratifikasi Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Flora and Fauna (CITES) yang ditandatangani di Washington, D.C. tahun 1973 dan telah berlaku secara efektif sejak tahun 1975. Konvensi tersebut telah menjadi hukum nasional melalui ratifikasi dengan Keputusan Presiden Nomor 43 tahun 1978. Selanjutnya ketentuan CITES merupakan kewajiban bersama dalam pelaksanaannya namun harus didasari oleh peraturan perundang-undangan nasional yang memadahi. Dalam Article VIII CITES disebutkan bahwa setiap Negara anggota Konvensi wajib mempunyai legislasi nasional (peraturan perundang-undangan) yang memadahi untuk pellaksanaan CITES dengan efektif, yang dapat memberikan mandat kepada setiap negara anggota untuk (1) menunjuk satu atau lebih Otoritas Pengelola (Management Authorities) yang berkompeten untuk menerbitkan izin atau sertifikat atas nama Negara Pihak, dan satu atau lebih Otoritas Keilmuan (Scientific Authorities) untuk memberikan pendapat/nasihat kepada Otoritas Pengelola; (2) dapat melarang semua kegiatan yang melanggar ketentuan konvensi terkait dengan jenis-jenis yang termasuk dalam appendix; (3) dapat menghukum pelanggaran-pelanggaran tersebut; dan (4) dapat melakukan penyitaan terhadap specimen yang terlibat di dalam pelanggaran. Keempat prasyarat tersebut harus dapat dipenuhi oleh legislasi yang ada, jika tidak maka CITES dapat memberikan sanksi berupa “isolasi” atau embargo perdagangan jenis-jenis yang masuk kontrol CITES.
Konvensi lain yang terkait dengan konservasi adalah Konvensi tentang Keanekaragaman Hayati atau Convention on Biological Diversity (CBD), yang mengatur tentang konservasi keanekaragaman hayati, pemanfaatan yang berkelanjutan dari keanekaragaman hayati serta pembagian yang adil terhadap pemanfaatan genetik. Beberapa keputusan yang sangat terkait diantaranya adalah tentang konservasi pesisir, pantai dan laut; tentang kawasan dilindungi (protected areas), dan sebagainya.
Konvensi lain yang terkait adalah Ramsar, yang memberikan pedoman tentang pengelolaan dan pemanfaatan yang bijaksana terhadap lahan basah, termasuk jenis-jenis yang ada di dalamnya.
Pengertian konservasi menurut undang-undang ini adalah pengelolaan sumber daya alam hayati yang pemanfaatannya dilakukan secara bijaksana untuk menjamin kesinambungan persediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas keanekaragaman dan nilainya. Konservasi dilakukan melalui kegiatan : (a) perlindungan sistem penyangga kehidupan ; (b) pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya; dan (c) pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya (Pasal 5).
Undang – Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan memuat ketentuan mengenai konservasi di kawasan hutan. Pasal 1 angka 2 undang-undang ini menyatakan bahwa yang dimaksud dengan hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan. Selanjutnya Pasal 7 menyatakan bahwa hutan konservasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) huruf a terdiri dari: (a) kawasan hutan suaka alam, (b) kawasan hutan pelestarian alam, dan (c) taman buru.
Walaupun ketentuan konservasi ini masih berorientasi daratan namun prinsip-prinsip pengaturan mengenai konservasi secara analogi dimungkinkan untuk diterapkan untuk kawasan konservasi di perairan, khususnya untuk memberikan perlindungan hukum terhadap ekosistem yang menjadi habitat satwa langka.
Undang- Undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan. Sepanjang berkaitan dengan pengelolaan kawasan konservasi sebagai suatu kesatuan ekosistem, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan mengatur penetapan status hukum kawasan lautnya. Secara khusus undang-undang ini memberikan wewenang kepada Menteri untuk menetapkan status suatu bagian laut tertentu sebagai kawasan Suaka Alam Perairan, Taman Nasional Perairan, Taman Wisata Perairan, atau Suaka Perikanan. Penetapan status kawasan-kawasan laut tersebut bertujuan untuk melindungi dan melestarikan sumber-sumber kekayaan alam hayati dan ekosistemnya.
Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan menyatakan bahwa: “Dalam rangka mendukung kebijakan pengelolaan sumber daya ikan, Menteri menetapkan: (n) …………………..; (o) rehabilitasi dan peningkatan sumber daya ikan serta lingkungannya; (p) …………………..; (q) suaka perikanan; (r) …………………….; (s)…………………….; dan (t) jenis ikan yang dilindungi.” Pasal 7 ayat (5) : “Menteri menetapkan jenis ikan dan kawasan perairan yang masing-masing dilindungi, termasuk taman nasional laut, untuk kepentingan ilmu pengetahuan, kebudayaan, pariwisata, dan/atau kelestarian sumber daya ikan dan / atau lingkungannya”. Penjelasan Pasal 7 ayat (5) : “Yang dimaksud dengan “jenis ikan” adalah: Pisces (ikan bersirip); Crustacea (udang, rajungan, kepiting , dan sebangsanya); Mollusca (kerang, tiram, cumi-cumi, gurita, siput, dan sebangsanya); Coelenterata (ubur-ubur dan sebangsanya); Echinodermata (tripang, bulu babi dan sebangsanya); Amphibia (kodok dan sebangsanya); (buaya, penyu, kura-kura, biawak, ular air dan sebangsanya); Mammalia (paus, lumba-lumba, pesut, duyung dan sebangsanya); Algae (rumput laut dan tumbuhan lain yang hidupnya di dalam air); dan Biota Perairan lainnya yang ada kaitannya dengan jenis-jenis tersebut di atas, semuanya termasuk bagian-bagiannya dan ikan yang dilindungi”.
Selanjutnya Pasal 13 ayat (1) menyatakan bahwa: “Dalam rangka pengelolaan sumber daya ikan, dilakukan upaya konservasi ekosistem, konservasi jenis ikan, dan konservasi genetika ikan.” Selanjutnya Pasal 14 ayat (1) menyatakan bahwa: “Pemerintah mengatur dan/atau mengembangkan pemanfaatan plasma nutfah yang berkaitan dengan sumber daya ikan dalam rangka pelestarian ekosistem dan pemuliaan sumber daya ikan.” Pasal 14 ayat (2): “Setiap orang wajib melestarikan plasma nutfah yang berkaitan dengan sumber daya ikan.”
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menyatakan bahwa: “Daerah yang memiliki wilayah laut diberikan kewenangan untuk mengelola sumber daya di wilayah laut”. Selanjutnya Pasal 18 ayat (3) menyatakan bahwa kewenangan daerah untuk mengelola sumber daya di wilayah laut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: eksplorasi, eksploitasi, konservasi, dan pengelolaan kekayaan laut; pengaturan administratif; pengaturan tata ruang; penegakan hukum terhadap peraturan yang dikeluarkan oleh Daerah atau yang dilimpahkan kewenangannya oleh Pemerintah; ikut serta dalam pemeliharaan keamanan; dan ikut serta dalam pertahanan kedaulatan negara.
Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 1998 Tentang Kawasan Suaka Alam Dan Kawasan Pelestarian Alam. Peraturan Pemerintah ini merupakan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Pengertian Kawasan Suaka Alam menurut peraturan ini adalah: “kawasan dengan ciri khas tertentu, baik di daratan maupun di perairan yang mempunyai fungsi pokok sebagai kawasan pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya yang juga berfungsi sebagai wilayah sistem penyangga kehidupan.” Adapun yang dimaksud dengan Kawasan Pelestarian Alam adalah: “kawasan dengan ciri khas tertentu, baik di daratan maupun di perairan yang mempunyai fungsi perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.”
Dari definisi sebagaimana telah dikutip di atas, tampak perbedaan antara kedua kawasan, yaitu bahwa di dalam Kawasan Pelestarian Alam, baik di daratan maupun di perairan, dimungkinkan kegiatan pemanfaatan secara lestari dengan memperhatikan daya dukung ekosistemnya. Selanjutnya, Kawasan Suaka Alam dapat dibedakan menjadi: Cagar Alam dan Suaka Margasatwa, sedangkan Kawasan Pelestarian Alam dapat dibedakan menjadi: Taman Nasional, Taman Hutan Raya, dan Taman Wisata Alam.
Nomenklatur kawasan sebagaimana telah dikutip di atas, secara analogi dapat dipersamakan dengan pengertian kawasan-kawasan yang termuat di dalam Undang-Undang Perikanan Nomor 31 Tahun 2004. Sepanjang menyangkut urusan kelautan dan perikanan, Menteri Kelautan dan Perikanan berwenang untuk menetapkan perairan tertentu sebagai Kawasan Suaka Alam Perairan, Taman Nasional Perairan, Taman Wisata Perairan, atau Suaka Perikanan (Pasal 7 ayat (1) dan Penjelasan Pasal 13 ayat (1). Dalam hal ini Kawasan Suaka Alam Perairan dan Suaka Perikanan identik dengan Kawasan Suaka Alam sebagaimana yang dimaksud oleh Pasal 6 Peraturan Pemerintah ini. Selanjutnya, pengertian Taman Nasional Perairan dan Taman Wisata Perairan di dalam Undang-Undang Perikanan identik dengan Kawasan Pelestarian Alam sebagaimana yang dimaksud oleh Pasal 30 Peraturan Pemerintah ini.
Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 Tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan Dan Satwa. Pasal 1 butir 8: “Pelaksanaan pengawetan dan pemanfaatan jenis tumbuhan dan satwa merupakan tanggungjawab menteri yang bertanggungjawab di bidang kehutanan”
Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan Dan Satwa Liar. Pasal 1 butir 9 : “Pelaksanaan pengawetan dan pemanfaatan jenis tumbuhan dan satwa liar merupakan tanggungjawab menteri yang bertanggungjawab di bidang kehutanan”. Pasal 65 ayat (1) : ”Departemen Kehutanan ditetapkan sebagai Otoritas Pengelola (Management Authority) Konservasi Tumbuhan dan Satwa Liar”
Peraturan Pemerintah No 60 Tahun 2007 Tentang Konservasi Sumber Daya Ikan. Peraturan Pemerintah ini dimaksudkan untuk melaksanakan ketentuan Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan. Peraturan pemerintah ini ndemi kewenangan kepada Menteri (Kelautan dan Perikanan) untuk menetapkan Kawasan Konservasi Perairan yang terdiri atas taman nasional perairan, taman wisata perairan, suaka alam perairan, dan suaka perikanan (Pasal 8).
Peraturan Pemerintah ini juga memberi kewenangan kepada Menteri Kelautan dan Perikanan untuk menetapkan status perlindungan jenis ikan tertentu (pasal 24 ayat 1), yang meliputi Jenis ikan yang dilindungi dan Jenis ikan yang tidak dilindungi (Pasal 23 ayat (1)). Jenis ikan tertentu dapat ditetapkan sebagai jenis ikan yang dilindungi, apabila memenuhi kriteria: (a). terancam punah; (b). langka; (c). daerah penyebaran terbatas (endemic); (d). adanya penurunan jumlah populasi di alam yang tajam; dan (e). tingkat kemampuan reproduksi yang rendah.
Kerjasama Konservasi Internasional. Kerjasama internasional dalam konservasi sangat diperlukan terutama untuk mencegah kepunahan atau terancamnya jenis dan ekosistem dari kepunahan yang disebabkan oleh pengelolaan dan pemanfaatan yang tidak berkelanjutan. Beberapa konvensi internasional terkait dengan konservasi yang mengikat secara hukum diantaranya adalah CITES, Ramsar dan CBD. Indonesia telah meratifikasi Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Flora and Fauna (CITES) yang ditandatangani di Washington, D.C. tahun 1973 dan telah berlaku secara efektif sejak tahun 1975. Konvensi tersebut telah menjadi hukum nasional melalui ratifikasi dengan Keputusan Presiden Nomor 43 tahun 1978. Selanjutnya ketentuan CITES merupakan kewajiban bersama dalam pelaksanaannya namun harus didasari oleh peraturan perundang-undangan nasional yang memadahi. Dalam Article VIII CITES disebutkan bahwa setiap Negara anggota Konvensi wajib mempunyai legislasi nasional (peraturan perundang-undangan) yang memadahi untuk pellaksanaan CITES dengan efektif, yang dapat memberikan mandat kepada setiap negara anggota untuk (1) menunjuk satu atau lebih Otoritas Pengelola (Management Authorities) yang berkompeten untuk menerbitkan izin atau sertifikat atas nama Negara Pihak, dan satu atau lebih Otoritas Keilmuan (Scientific Authorities) untuk memberikan pendapat/nasihat kepada Otoritas Pengelola; (2) dapat melarang semua kegiatan yang melanggar ketentuan konvensi terkait dengan jenis-jenis yang termasuk dalam appendix; (3) dapat menghukum pelanggaran-pelanggaran tersebut; dan (4) dapat melakukan penyitaan terhadap specimen yang terlibat di dalam pelanggaran. Keempat prasyarat tersebut harus dapat dipenuhi oleh legislasi yang ada, jika tidak maka CITES dapat memberikan sanksi berupa “isolasi” atau embargo perdagangan jenis-jenis yang masuk kontrol CITES.
Konvensi lain yang terkait dengan konservasi adalah Konvensi tentang Keanekaragaman Hayati atau Convention on Biological Diversity (CBD), yang mengatur tentang konservasi keanekaragaman hayati, pemanfaatan yang berkelanjutan dari keanekaragaman hayati serta pembagian yang adil terhadap pemanfaatan genetik. Beberapa keputusan yang sangat terkait diantaranya adalah tentang konservasi pesisir, pantai dan laut; tentang kawasan dilindungi (protected areas), dan sebagainya.
Konvensi lain yang terkait adalah Ramsar, yang memberikan pedoman tentang pengelolaan dan pemanfaatan yang bijaksana terhadap lahan basah, termasuk jenis-jenis yang ada di dalamnya.
Referensi
:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar