Selasa, 27 Januari 2015

Berita faktual lingkungan dan perindustrian



JAKARTA, KOMPAS.com — Sekitar 70 persen kerusakan lingkungan di Indonesia disebabkan oleh operasi pertambangan.
Industri ekstraktif ini dengan mudah melabrak dan mengakali berbagai aturan yang bertentangan dengan kepentingannya, termasuk Undang-Undang Nomor  32 Tahun 2009 tentang Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup (PPLH).
"Bahkan, UU No 32/2009 dianggap sebagai penghambat investasi. Tak heran, undang-undang ini terus diabaikan dan pelan-pelan dipereteli kekuatannya," kata Priyo Pamungkas Kustiadi, Media Communication and Outreach Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), di Jakarta, Jumat (28/9/2012).
Hampir 34 persen daratan Indonesia telah diserahkan kepada korporasi lewat 10.235 izin pertambangan mineral dan batubara (minerba). Itu belum termasuk izin perkebunan skala besar, wilayah kerja migas, panas bumi, dan tambang galian C.
Kawasan pesisir dan laut juga tidak luput dari eksploitasi, lebih dari 16 titik reklamasi, penambangan pasir, pasir besi, dan menjadi tempat pembuangan limbah tailing Newmont dan Freeport.
Demikian juga hutan kita, setidaknya 3,97 juta hektar kawasan lindung terancam pertambangan, tak luput keanekaragaman hayati di dalamnya. Tak hanya hutan, sungai kita pun dikorbankan. Jumlah daerah aliran sungai (DAS) yang rusak parah meningkat dalam 10 tahun terakhir.
Dari sekitar 4.000 DAS yang ada di Indonesia, sebanyak 108 DAS mengalami kerusakan parah. ESDM dinilai melakukan pembiaran atas kehancuran ini dan dibayar dengan kematian warga, kerusakan lahan, dan berubahnya pola ekonomi masyarakat.
Melihat kondisi inilah, Jatam menuntut secara tegas agar Energi dan Sumber Daya Mineral tunduk kepada UU No 32/2009 dan tidak mengintervensi Kementerian Lingkungan Hidup, segera menghentikan izin usaha pertambangan dan mengevaluasi perusahaan yang merusak lingkungan, menutup segera tambang di wilayah hutan untuk menahan laju daya rusak tambang. 


Pandangan dan sikap kritis saya terhadap berita diatas:

Melihat dari apa yang telah di jabarkan oleh artikel diatas, bahwa peraturan tentang pertambangan dinilai sudah tidak berlaku lagi bahkan dianggap tidak ada oleh pelaku tersebut. dikarenakan oleh tidak tegasnya pemerintah terhadap pelaku pertambangan tersebut dan adanya oknum atau badan pemeriksaan, tentang dampak yang dilakukan oleh pertambangan tersebut terhadap lingkungan (AMDAL). 


Sedangkan bila ditinjau dari Misi Kementrian Lingkungan Hidup adalah:

1.  Mewujudkan kebijakan pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup terintegrasi, guna mendukung  tercapainya pembangunan berkelanjutan, dengan menekankan pada ekonomi hijau;

2.  Melakukan koordinasi dan kemitraan dalam rantai nilai proses pembangunan untuk mewujudkan integrasi, sinkronisasi antara ekonomi dan ekologi dalam pembangunan berkelanjutan;

3. Mewujudkan pencegahan kerusakan dan pengendalian pencemaran sumber daya alam dan lingkungan hidup dalam rangka pelestarian fungsi lingkungan hidup;

4. Melaksanakan tatakelola pemerintahan yang baik serta mengembangkan kapasitas kelembagaan dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup secara terintegrasi.

Dari keempat Misi tersebut pada poin ke tiga disebutkan "Mewujudkan pencegahan kerusakan dan pengendalian pencemaran sumber daya alam dan lingkungan hidup dalam rangka pelestarian fungsi lingkungan hidup;". trus kapan bisa terlaksana? mungkin hanya waktu yang bisa menjawabnya. Padahal Royalti yang di berikan dari setiap pertambangan yang berada di indonesia hanya sedikit dari hasil penjualan tambang tersebut. contohnya pertambangan Freeport.
Tegaslah kepada semua yang melanggar peraturan jangan ada suap menyuap.

Sumber:
http://www.menlh.go.id/visi-misi-kementerian-lingkungan-hidup/\

http://www.kompas.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar