JAKARTA, KOMPAS.com — Sekitar 70 persen
kerusakan lingkungan di Indonesia disebabkan oleh operasi pertambangan.
Industri ekstraktif ini dengan mudah melabrak dan
mengakali berbagai aturan yang bertentangan dengan kepentingannya, termasuk
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Pengelolaan dan Perlindungan
Lingkungan Hidup (PPLH).
"Bahkan, UU No 32/2009 dianggap sebagai
penghambat investasi. Tak heran, undang-undang ini terus diabaikan dan
pelan-pelan dipereteli kekuatannya," kata Priyo Pamungkas Kustiadi, Media
Communication and Outreach Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), di Jakarta, Jumat
(28/9/2012).
Hampir 34 persen daratan Indonesia telah diserahkan
kepada korporasi lewat 10.235 izin pertambangan mineral dan batubara (minerba).
Itu belum termasuk izin perkebunan skala besar, wilayah kerja migas, panas
bumi, dan tambang galian C.
Kawasan pesisir dan laut juga tidak luput dari
eksploitasi, lebih dari 16 titik reklamasi, penambangan pasir, pasir besi, dan
menjadi tempat pembuangan limbah tailing Newmont dan Freeport.
Demikian juga hutan kita, setidaknya 3,97 juta
hektar kawasan lindung terancam pertambangan, tak luput keanekaragaman hayati
di dalamnya. Tak hanya hutan, sungai kita pun dikorbankan. Jumlah daerah aliran
sungai (DAS) yang rusak parah meningkat dalam 10 tahun terakhir.
Dari sekitar 4.000 DAS yang ada di Indonesia, sebanyak
108 DAS mengalami kerusakan parah. ESDM dinilai melakukan pembiaran atas
kehancuran ini dan dibayar dengan kematian warga, kerusakan lahan, dan
berubahnya pola ekonomi masyarakat.
Melihat kondisi inilah, Jatam menuntut secara tegas
agar Energi dan Sumber Daya Mineral tunduk kepada UU No 32/2009 dan tidak
mengintervensi Kementerian Lingkungan Hidup, segera menghentikan izin usaha
pertambangan dan mengevaluasi perusahaan yang merusak lingkungan, menutup
segera tambang di wilayah hutan untuk menahan laju daya rusak tambang.
Pandangan dan sikap kritis saya terhadap berita
diatas:
Melihat dari apa yang telah di jabarkan oleh artikel
diatas, bahwa peraturan tentang pertambangan dinilai sudah tidak berlaku lagi
bahkan dianggap tidak ada oleh pelaku tersebut. dikarenakan oleh tidak tegasnya
pemerintah terhadap pelaku pertambangan tersebut dan adanya oknum atau badan
pemeriksaan, tentang dampak yang dilakukan oleh pertambangan tersebut terhadap
lingkungan (AMDAL).
Sedangkan bila ditinjau dari Misi Kementrian
Lingkungan Hidup adalah:
1. Mewujudkan kebijakan pengelolaan sumber
daya alam dan lingkungan hidup terintegrasi, guna mendukung tercapainya
pembangunan berkelanjutan, dengan menekankan pada ekonomi hijau;
2. Melakukan koordinasi dan kemitraan dalam
rantai nilai proses pembangunan untuk mewujudkan integrasi, sinkronisasi antara
ekonomi dan ekologi dalam pembangunan berkelanjutan;
3. Mewujudkan pencegahan kerusakan dan
pengendalian pencemaran sumber daya alam dan lingkungan hidup dalam rangka pelestarian
fungsi lingkungan hidup;
4. Melaksanakan tatakelola pemerintahan yang
baik serta mengembangkan kapasitas kelembagaan dalam pengelolaan sumber daya
alam dan lingkungan hidup secara terintegrasi.
Dari keempat Misi tersebut pada poin ke tiga disebutkan
"Mewujudkan pencegahan kerusakan dan pengendalian pencemaran sumber daya
alam dan lingkungan hidup dalam rangka pelestarian fungsi lingkungan
hidup;". trus kapan bisa terlaksana? mungkin hanya waktu yang bisa
menjawabnya. Padahal Royalti yang di berikan dari setiap pertambangan yang
berada di indonesia hanya sedikit dari hasil penjualan tambang tersebut.
contohnya pertambangan Freeport.
Tegaslah kepada semua yang melanggar peraturan
jangan ada suap menyuap.
Sumber:
http://www.menlh.go.id/visi-misi-kementerian-lingkungan-hidup/\
http://www.kompas.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar